Parpol Diminta Realisasikan Afirmasi Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen
Jakarta – Petinggi partai politik diminta melakukan intervensi untuk mewujudkan afirmasi bahwa calon legislatif (caleg) perempuan yang kompeten tetap bisa lolos di parlemen.
“Sehingga kebijakan afirmasi 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen dapat terwujud,” kata politisi Partai Golkar Melli Darsa dalam seminar yang bertajuk “Keterwakilan Perempuan Lewat Pileg, Afirmasi atau Fiksi?” di Universitas Jayabaya, Pulomas, Pulogadung, Jakarta Timur, Senin.
Caleg DPR RI dari Dapil Jabar III (Bogor dan Cianjur) itu menyebutkan afirmasi keterwakilan perempuan dalam politik adalah kebijakan yang sudah dilahirkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
“Yakni UU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perppu Nomor 1 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,” katanya.
Dalam Pasal 173 ayat 2 butir e disebutkan “menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Pasal 245 menyebutkan pula bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
“Namun, hingga saat ini kebijakan ini masih belum efektif dan cenderung hanya merupakan suatu ‘lip service’,” kata dia.
Menurut dia, sistem pemilu yang memiliki banyak partai dan masing-masing partai harus menyediakan begitu banyak calon merupakan tantangan yang dihadapi caleg perempuan menjadi lebih berat lagi.
Apalagi di tengah rakyat dibuat bingung harus pilih siapa di kertas suara dengan banyak nama tersebut. “Ini belum mempertimbangkan kesanggupan finansial yang dibutuhkan untuk nyaleg,” kata Melli.
Faktor lainnya adalah jarang ada perempuan yang secara mandiri dapat mengeluarkan uang yang diperlukan, tanpa dapat bergantung pada fasilitas dan bantuan sosial yang umumnya hanya tersedia kepada caleg petahana atau “incumbent”.
Berdasarkan pengalamannya, uang untuk proses politik yang harus dikeluarkan sebagai caleg perempuan, umumnya lebih tinggi dari caleg laki-laki.
“Karena kita harus melewati banyak perantara untuk dapat menembus ke pihak-pihak yang memiliki pengaruh untuk mengamankan atau memperkuat kedudukan kita sebagai caleg,” katanya.
Dia juga menyayangkan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU yang justru banyak menghasilkan kesalahan sehingga merugikan suara caleg perempuan.
Karena itu, dia meminta para petinggi partai politik (parpol) dapat mengintervensi untuk memastikan bahwa caleg perempuannya yang memiliki kualitas dapat lolos ke parlemen.
“Kebijakan afirmasi yang ada harus lebih berani menempatkan perempuan sebagai wakil rakyat,” ucapnya.
Berbagai indikasi praktik kurang sehat dari kekisruhan penghitungan suara serta pengkondisian secara sistemik di Pemilu 2024, kata Melli, berpotensi menurunkan afirmasi keberadaan perempuan di parlemen.
Pengamat politik dari Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengatakan bahwa aturan atau pemberian sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan per dapil di pemilihan umum legislatif (pileg) sudah mulai hilang.
“Dulu (parpol) terkena sanksi diskualifikasi. Artinya, parpol itu tidak berhak mendapatkan kursi bila tidak memenuhi kualifikasi 30 persen per dapil,” katanya.
Parpol bisa ikut pemilu tapi tidak dihitung perolehan suaranya karena tidak memenuhi kualifikasi itu. Karena itu, parpol bisa kembali menganut sistem “zig-zag” seperti Pemilu Legislatif 2019 bahwa suaranya diutamakan untuk perempuan.
Misalnya, parpol mendapatkan dua kursi dalam satu dapil, harus diutamakan penghitungan suara kepada perempuan dari perolehan suara terbanyak di dapil itu.
“Meskipun di atasnya ada caleg laki-laki, namun karena kepentingan ‘zig zag’ itu, maka yang lebih diutamakan adalah perempuan,” kata Ray.