ISLAM TIDAK MENGAJARKAN PATRIARKI DALAM RUMAH TANGGA
Oleh : Adrian, S.Hub.Int ( Pengajar di Ponpes Darud Dhiyak Al-Islami )
OPINI,Gayamnews.com – Harus kita akui bahwa praktik patriarki di Indonesia masih terjadi khususnya patriarki dalam rumah tangga. Namun, bentuk patriarki yang terjadi dalam rumah tangga sendiri masih banyak diperdebatkan. Misalnya, kebiasaan istri di desa yang biasanya setiap pagi harus memasak membuat sarapan, membersihkan rumah, membuat kopi dan lain-lain, sementara suami hanya berdiam diri menunggu makanan selesai dihidangkan lalu kemudian menyantapnya, setelah itu berangkat bekerja atau ke kebun untuk mencari nafkah. Apakah ini dapat dikategorikan sebagai praktik patriarki atau tidak? Di sisi lain, hal tersebut merupakan suatu yang lumrah dilakukan dalam rumah tangga di pedesaan.
Dalam pandangan orang eropa (gerakan feminisme extrem), praktik tersebut dikategorikan sebagai praktik patriarki. Dan praktik semacam itu harus di rubah atau bahkan dihapuskan. Karena tentu praktik semacam itu tidak dilakukan oleh istri-istri di eropa kepada suaminya. Namun pertanyaannya bagaimana di Indonesia? Apakah hal itu sebaliknya, merupakan budaya Indonesia? Dan di dukung oleh ajaran Islam?
Aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang dilakukan secara turun temurun oleh perempuan di pedesaan. Bahkan hal tersebut secara tidak langsung diajarkan kepada setiap perempuan di desa oleh orang tua mereka. Agar ketika perempuan nanti telah menikah, mereka “harus” melakukan aktivitas tersebut kepada suaminya. Dan jika mereka tidak melakukan itu, maka mereka akan di pandang sebagai perempuan yang tidak becus mengurus rumah tangga dan suaminya oleh tetangga mereka atau bahkan orang tuanya sendiri.
Terlebih lagi oleh mertuanya. Yang lebih parah dari itu, bahkan meskipun seorang istri sedang dalam kondisi sakit, ada suami-suami yang tetap mengharap agar istrinya tetap menjalankan aktivitas itu, tanpa seorang suami mau melaksanakannya sendiri padahal ia mampu untuk melakukannya sendiri. Jika terjadi praktik yang demikian, penyebabnya tentu bukan ajaran agama, karena agama sangat menentang praktik yang demikian itu.
Ajaran Islam Tentang Kesetaraan
Praktik patriarki tentu bukan merupakan ajaran Islam. Sebaliknya Islam mengajarkan kesetaraan. Membebaskan perempuan dari praktik penindasan, penganiayaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh laki-laki pada masa Jahiliyah bahkan modern seperti saat ini. Menurut Asghar dalam Fadlan (2011) menyebutkan bahwa Al-Qur’anlah yang pertama kali memberikan perempuan hak-hak yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya pada aturan legal.
Salah satu ayat yang menunjukkan hal tersebut adalah QS. Al-Isra’ ayat 70, Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam bentuk terbaik dan kedudukan terhormat. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, manusia memiliki akal dan perasaan yang mampu menerima dan melaksanakan petunjuk serta perintah Tuhannya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Al-Qur’an tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dari gendernya, melainkan yang membedakan manusia di hadapan Tuhan adalah ketakwaannya.
Selain itu, dalam QS. An-Nisa ayat 32 dikatakan perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan kemudian dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, lalu diberikan oleh Allah kesempatan dan kewajiban yang sama. Bahkan setiap individu baik laki-laki maupun perempuan, didorong untuk terus bersaing secara sehat dalam beramal soleh menuju kualitas takwa terbaik di hadapan Allah SWT (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam konteks kesetaraan gender dalam rumah tangga yakni ketika suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sebanding satu sama lain. Kewajiban suami adalah hak istri, begitu juga sebaliknya, kewajiban istri adalah hak suami.
Semuanya setara kecuali peran dan fungsi yang dipengaruhi oleh kodrat biologis manusia, misalnya untuk hamil, melahirkan, dan menyusui itu merupakan kewajiban yang memang hanya dimiliki istri dan tidak bisa ditukar atau dibebankan kepada laki-laki (Zainal, 2013).
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 87, Allah menegaskan bahwa penyatuan laki-laki dan perempuan dalam janji suci pernikahan untuk menciptakan hubungan kerjasama yang saling melengkapi kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam rangka menumbuhkan rumah tangga yang damai, bahagia, setara dan adil diantara keduanya.
Dengan demikian, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa pekerjaan domestik dalam rumah tangga merupakan tanggung jawab yang wajib dikerjakan oleh seorang istri dan tidak ada kaitannya dengan suami. Menurut Gus Dur, rumah tangga harus dibangun atas dasar keseimbangan termasuk juga pekerjaan domestik.
Misalnya, jika suami dan istri sama-sama tidak bekerja, maka pekerjaan domestik dikerjakan secara bersama oleh suami dan istri. Namun, misalnya jika suami bekerja di luar satu hari penuh dan pulang ke rumah pada sore hari, sementara istri tidak bekerja dan tinggal di rumah maka pekerjaan domestik dikerjakan oleh istri. Hal yang demikian itu merupakan bentuk keseimbangan, bukan merupakan praktik patriarki.
Kesetaraan Dalam Rumah Tangga Nabi
Rasulullah SAW juga memberikan contoh praktik kesetaraan dalam rumah tangga. Misalnya, sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah RA, ia menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW mengerjakan hal-hal sederhana untuk membantu istrinya seperti mengangkat ember dan menjahit baju. Rasulullah sering menjahit baju yang sobek, memperbaiki sendal yang putus, dan mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan suami di rumahnya. Di sisi lain, Rasulullah juga tak segan pergi ke pasar untuk membeli kurma untuk memenuhi kebutuhan pokok, memperbaiki peralatan dan perabotan rumah seperti ember, bejana dan lain-lain serta menyapu halaman.
Dalam kitab Qadhaya Al-Fiqh wa Al-Fikr Al-Mu’ashir karya Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa pekerjaan rumah tangga sejatinya bukanlah mutlak kewajiban istri semata. Suami tidak diperkenankan untuk mewajibkan istri mengerjakan semua pekerjaan itu, melainkan istri mengerjakan semuanya dalam rangka sukarela.
Bahkan, andaikata istri tidak berkenan mengerjakannya ia tidak berdosa. Dengan demikian, jika ada praktik patriarki yang dilakukan oleh umat islam dalam rumah tangganya, hal ini tentu bukan ajaran islam, melainkan kembali kepada individu yang melakukan praktik patriarki itu sendiri. Karena umat islam sejati tidak akan pernah melakukan penindasan terhadap perempuan.
