Devisit Dokter di Kaltim Capai Angka 50 Persen, Legislator Kaltim Dorong Pemerataan dan Perbaikan Kesejahteraan Tenaga Medis
Samarinda, Gayamnews.com – Kalimantan Timur (Kaltim) tengah menghadapi tantangan serius dalam sektor kesehatan, khususnya terkait jumlah dan distribusi tenaga dokter.
Hal ini disampaikan oleh anggota DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra, yang menyoroti ketimpangan distribusi serta kurangnya tenaga medis yang tersebar merata di seluruh wilayah provinsi.
Mengacu pada standar rasio dokter yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni satu dokter untuk setiap seribu penduduk.
Kaltim dengan populasi sekitar empat juta jiwa, idealnya membutuhkan 4.000 dokter. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa jumlah dokter aktif baru sekitar separuhnya, yaitu hanya 2.000 orang.
Menurut Andi Adi, permasalahan ini tidak semata menyangkut kekurangan tenaga medis, namun juga menyangkut distribusi yang tidak merata.
“Sebagian besar dokter terkonsentrasi di tiga kota besar: Balikpapan, Samarinda, dan Bontang. Daerah terpencil dan kota kecil lainnya kesulitan mendapat akses layanan medis memadai,” ujarnya belum lama ini.
Ia menambahkan bahwa rendahnya minat para dokter untuk bertugas di wilayah pelosok umumnya disebabkan oleh minimnya dukungan kesejahteraan dan infrastruktur.
“Kesejahteraan tidak hanya soal gaji, tetapi juga infrastruktur jalan, fasilitas rumah sakit yang lengkap, dan insentif yang memadai. Sayangnya, beberapa daerah bahkan terlambat membayar insentif hingga 2-3 bulan. Ini tentu memengaruhi motivasi tenaga medis,” tegasnya.
Di sisi pendidikan, Andi juga mengungkapkan bahwa meski Kaltim telah memiliki dua institusi pendidikan kedokteran, yakni Universitas Mulawarman (Unmul) dan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT), namun kontribusi mereka belum cukup signifikan untuk menutupi kekurangan tenaga medis.
Unmul, kata Andi Adi, hanya mampu mencetak sekitar 100 dokter setiap tahunnya, sementara UMKT masih belum menghasilkan lulusan pertama.
“Dengan defisit 2.000 dokter, butuh 20 tahun untuk menutup kekurangan ini jika hanya mengandalkan Unmul. Ini tidak realistis,” kritiknya.
Sebagai solusi, ia menyarankan agar pemerintah daerah membuka akses lebih luas untuk merekrut dokter dari luar daerah serta meningkatkan kapasitas dan kualitas pendidikan kedokteran di Kaltim.
Lebih jauh, ia juga mengusulkan agar lulusan kedokteran diwajibkan untuk mengabdi di daerah asal mereka sebelum diperbolehkan bekerja di kota besar.
“Misalnya, lulusan dari Kutai Barat sebaiknya kembali ke sana setidaknya untuk beberapa tahun. Ini bisa mendorong distribusi yang lebih merata,” jelasnya.
Andi Adi menggarisbawahi bahwa upaya mengatasi krisis ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, dan para tenaga medis.
“Tanpa kolaborasi, ketimpangan layanan kesehatan akan terus melebar. Masyarakat di daerah terpencil berhak mendapat akses yang sama,” pungkasnya. (Adv)
