banner Iklan

18 Tahun Menuntut Ganti Rugi, Legislator Kaltim Siap Kawal Kasus Sengketa Lahan Masyarakat Marangkayu

Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu

Samarinda, Gayamnews.com – Konflik lahan pembangunan Bendungan Marangkayu yang menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN), terus bergulir meski proyek ini telah berjalan sejak 2006.

Warga yang terdampak dari proyek ini sebagian besar adalah petani. Mereka belum menerima ganti rugi secara menyeluruh atas lahan yang kini tergenang air.

Masalah Utama

Persoalan utama muncul dari tumpang tindih klaim kepemilikan antara warga dan pihak PTPN XIII yang mengklaim area tersebut sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) milik mereka.

Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, mengungkapkan pembangunan bendungan awalnya merupakan aspirasi warga yang mengaku kesulitan soal irigasi pertanian.

Proyek ini mulai diwacanakan setelah kunjungan anggota DPR RI, Yasin Kara, yang merespons keluhan petani dengan membawa aspirasi ke pusat.

Namun, warga merasa ada yang janggal. Sebab lahan yang ditetapkan dua kali lipat lebih luas dari lahan yang dicanangkan warga.

“Awalnya hanya ingin bendungan kecil untuk sawah. Tapi ternyata lokasi dan skala yang ditentukan jauh lebih besar, bahkan melebar dari rencana awal 300 hektare menjadi 600 hektare,” ungkap Baharuddin saat ditemui di ruangannya, Senin (2/6/2025).

Baharuddin yang juga mantan Kepala Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu pada 2006, membeberkan bahwa masa awal pembangunan, proses pembebasan lahan berjalan mulus.

Sekitar tahun 2006–2007, pemerintah melakukan pembayaran pertama sebesar Rp3,8 miliar.

Namun konflik mulai mencuat sejak 2017, saat PTPN mengklaim sebagian lahan sebagai bagian dari HGU miliknya. Padahal warga selama ini tidak mengetahui adanya status tersebut.

“Waktu saya menjabat, kami tidak pernah tahu itu HGU. Warga menggarapnya sebagai sawah secara turun-temurun. Tapi tiba-tiba saat pembayaran terakhir, PTPN muncul dan klaim itu lahannya,” ujarnya.

Masyarakat Kalah

Persoalan semakin rumit karena hasil putusan pengadilan tingkat pertama menyatakan masyarakat kalah.

Menurut Baharuddin, pengadilan tidak mengetahui pasti bagaimana alur cerita yang sebenarnya, dasarnya hanya dengan melihat surat HGU.

“Tanah itu sawah rakyat, bukan lahan karet milik PTPN. Tapi pengadilan hanya lihat selembar surat. Tidak lihat fakta di lapangan,” tegasnya.

Kini, proses banding masih berjalan. Sementara itu, masyarakat yang terdampak terus menuntut kejelasan.

Banyak dari pemilik lahan awal yang sudah meninggal dunia, dan perjuangan dilanjutkan oleh anak-anak mereka.

Demo dan Akses Ditutup

Kekecewaan warga memuncak saat genangan air dari bendungan mulai meluas, hingga merendam kawasan permukiman di Kilometer 10.

Akibatnya, warga tak bisa lagi menggarap sawah. Pada 23 Mei lalu, puluhan warga kembali menggelar aksi unjuk rasa di kantor kecamatan dan menutup akses ke bendungan sebagai bentuk protes.

Dalam aksi itu, warga juga mengajukan surat permintaan audiensi ke DPRD agar segera memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk PTPN, Pengadilan Negeri Tenggarong, BWS, BPN, serta Gubernur Kaltim.

“Kami minta pimpinan DPRD segera agendakan RDP. Jangan biarkan rakyat menunggu terus. Ini sudah 18 tahun,” tegasnya.

Ia juga berharap Menteri BUMN Erick Thohir juga turun langsung ke lapangan melihat kondisi dan memverifikasi klaim HGU yang menjadi akar persoalan. (Adv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *