banner Iklan

Sengketa Lahan Transmigrasi di Simpang Pasir Belum Usai, DPRD Kaltim Minta Pemprov Bertindak Tegas

Anggota Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin, saat ditemui usai menggelar rapat di kantor DPRD Kaltim, Jumat (2/5/2025)

Samarinda, Gayamnews.com – Polemik mengenai lahan eks transmigrasi di kawasan Simpang Pasir, Kecamatan Palaran, kembali mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kalimantan Timur pada Jumat (2/5/2025).

Rapat tersebut turut menghadirkan perwakilan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim serta kuasa hukum masyarakat, Mariel Simanjorang.

Masalah utama yang dibahas adalah belum terealisasinya kompensasi lahan kepada 118 Kepala Keluarga (KK) yang merupakan mantan transmigran, meskipun putusan pengadilan telah memerintahkan penggantian berupa lahan.

Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, mengungkapkan bahwa sebagian kompensasi sudah diberikan, namun masih ada ratusan warga yang belum mendapatkan hak mereka.

“Sudah ada sekitar 70 KK yang dibayarkan. Tapi yang 118 KK ini belum, padahal sudah ada putusan pengadilan yang mengikat,” ujar Salehuddin saat ditemui usai rapat berlangsung.

Ia menegaskan bahwa putusan pengadilan tersebut mewajibkan penggantian lahan sebesar 1,5 hektare per KK, bukan dalam bentuk uang.

Permasalahan muncul lantaran lahan yang disengketakan kini sudah menjadi aset milik Pemerintah Provinsi Kaltim dan telah digunakan untuk pembangunan.

“Lahan itu sudah dibangun jadi aset pemprov. Jadi kalau diganti, harus di tempat lain. Tapi warga keberatan kalau lahannya diganti di lokasi yang jauh,” tambahnya.

Pemprov sempat mengusulkan lahan alternatif di wilayah Kutai Timur dan Paser, namun masyarakat menolak karena dinilai terlalu jauh dari lokasi asal mereka.

Menurut Salehuddin, situasi tersebut bukan hanya menyangkut aspek hukum, namun juga sosial dan keuangan daerah.

“Kalau kompensasinya uang, kita masih harus cari dasar hukumnya. Putusan pengadilan kan bicara lahan, bukan uang,” tegasnya.

Upaya penyelesaian kini melibatkan tim hukum dari Disnakertrans, Biro Hukum Pemprov, serta kuasa hukum warga untuk merumuskan solusi yang legal dan adil.

Mariel Simanjorang menegaskan bahwa negara tidak boleh mengabaikan putusan hukum yang telah berkekuatan tetap.

“Putusan itu wajib dijalankan. Pemerintah tidak bisa tawar-menawar lagi soal ini. Kalau tidak dijalankan, artinya negara sendiri yang melanggar hukum,” ujarnya.

Ia juga menegaskan bahwa pihaknya terbuka untuk berdialog, namun tetap meminta substansi putusan dihormati.

“Warga kami bukan tidak mau menerima uang. Tapi keputusan pengadilan adalah lahan, bukan uang. Itu harus dihormati,” tambah Mariel.

Sementara itu, pemerintah daerah beralasan bahwa ketersediaan lahan pengganti menjadi tantangan, ditambah belum adanya alokasi anggaran untuk membeli lahan baru.

“Kalau mau ganti uang, harus ada keputusan bersama dulu. Dan itu juga perlu disesuaikan dengan sistem pengelolaan keuangan daerah,” jelas Salehuddin.

Ia menambahkan bahwa DPRD tetap mengawasi masalah ini dan akan menyampaikan laporan ke pimpinan dewan serta merencanakan pertemuan dengan Gubernur.

“Kami harap dalam waktu dekat ada komunikasi intensif dengan Gubernur atau Asisten Pemerintahan, agar bisa segera ditemukan jalan keluar,” kata Salehuddin.

Salehuddin menyebut dua opsi saat ini yang bisa dipertimbangkan adalah penggantian lahan setara atau pembayaran sebesar Rp500 juta per KK, sebagaimana kasus serupa sebelumnya. Namun, ia mengingatkan bahwa skema tersebut harus melalui proses hukum dan administrasi yang tepat.

“Kita ingin bantu, tapi tetap harus berada di jalur hukum yang kuat. Tidak boleh asal bayar,” pungkas Salehuddin. (Adv)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *