Evaluasi Ketergantungan Pangan Indonesia Pada Asing: Menjawab Krisis Kedaulatan Pangan Indonesia
Oleh: M. Dudi Hari Saputra
OPINI, Gayamnews.com — Indonesia adalah negara dengan kekayaan agraris yang subur dan memiliki potensi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri.
Namun kenyataan menunjukkan fenomena yang terbalik, Indonesia sampai sekarang masih tercatat memiliki impor besar di bidang pangan (beras, gandum/terigu, jagung dan kedelai), bahkan Prof. Dr. Dawam Raharjo menggolongkan Indonesia sebagai negara yang mengalami krisis pangan karena kebutuhan pangan pokok yang masih tergantung stok dari luar (impor).
Volume perdagangan pangan Indonesia berdasarkan besaran ton selalu mengalami defisit (kerugian), di mana jumlah impor lebih banyak dari jumlah ekspor, yang jauh lebih mengkhawatirkan ialah akselerasi impor gandum/terigu, yang meningkat dari 7,392 juta ton pada 2013 menjadi 10,59 juta ton pada tahun 2023 (BPS, 2024). Dan sejak tahun 2020 Indonesia telah menjadi importir gandum terbesar pertama di dunia dengan volume lebih dari 10,29 juta ton (BPS, 2021).
Hal ini berbahaya karena telah menempatkan kedaulatan pangan nasional berada di tangan asing, yang berkonsekuensi antara lain; harga pangan Indonesia akan tergantung sekali dari harga yang ditetapkan oleh asing, kemudian stok pangan nasional tergantung pada asing, padahal dalam kondisi yang genting seperti wabah pandemi covid 19 atau keadaan konflik geopolitik perang Rusia – Ukraina, ketahanan pangan bisa menjadi daya tawar politik yang kuat, namun melihat posisi Indonesia yang tidak mandiri (dependensia), maka negara pengekspor pangan ke Indonesia memiliki daya tawar diplomasi yang lebih kuat.
Urgensi Ketahanan Pangan Indonesia
Defisit perdagangan pangan di Indonesia dan krisis pangan setidaknya diakibatkan oleh 2 aspek, pertama suplai yang tidak mencukupi atau karena memang tidak bisa/cocok untuk di tanam di suhu/iklim tropis seperti Indonesia, contohnya saja gandum.
Sedangkan pada beberapa komoditas yang sebenarnya bisa di tanam di suhu tropis di Indonesia seperti padi (beras) dan ubi misalnya malah tidak tergarap secara serius sehingga jumlah produksi di dalam negeri selalu tidak mampu memenuhi konsumsi pangan di dalam negeri.
Menurunnya angka produksi ini diakibatkan lahan pertanian yang kecil dan seringnya praktik ahli fungsi lahan pertanian di Indonesia, BPS mencatat, mayoritas atau 15,89 juta petani hanya memiliki luas lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Sebanyak 4,34 juta petani lahan pertaniannya hanya di kisaran 0,5-0,99 ha. Kemudian, petani yang luas lahan pertaniannya sebesar 1-1,99 ha sebanyak 3,81 juta jiwa. Petani yang luas lahannya di kisaran 2-2,99 ha sebanyak 1,5 juta jiwa. Di atas luasan itu, jumlah petaninya tidak ada yang sampai 1 juta jiwa. Kondisi ini pun diperparah dengan menyusutnya luas lahan pertanian di dalam negeri. Sebagai contoh, luas lahan baku sawah nasional sebesar 8,07 juta ha pada 2009. Angkanya kemudian menyusut menjadi sebesar 7,46 juta ha pada 2019 (CNBC, 2023).
Selain itu, menurut data dari badan pusat statistik, sektor pertanian kurang mampu memberikan sumbangsih ekonomi di banding sektor perdagangan dan jasa atau industri, sehingga jumlah pekerja di bidang pertanian terus menurun (minus 4% per tahun), hal ini karena tingginya tingkat persentase angka kemiskinan di bidang pertanian dengan rata-rata di atas 48% (BPS, 2024).
Sehingga jumlah petani Indonesia juga ikut menurun, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap I, selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani Indonesia mengalami penurunan sebanyak 7,42%, dari 31,70 juta orang pada 2013 menjadi 29,34 juta orang pada 2023. Fakta lain menyebutkan bahwa profil petani didominasi oleh petani yang berusia tua, sehingga dianggap kurang produktif (Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Setjen DPR RI, 2024).
Rekomendasi untuk pengembangan ekstensifikasi dan diversifikasi produk pertanian alternatif di Indonesia.
Melihat adanya problem pangan yang produksi nya terus menurun dan ada beberapa komoditas yang tidak bisa diproduksi di dalam negeri seperti gandum, maka perlu ada alternatif 2 pendekatan, pertama adalah ekstensifikasi produk pertanian yang bisa di tanam dan cocok dengan kondisi tanah dan iklim di Indonesia utama nya di wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang memiliki lahan eks gambut dan tambang yang luas nya puluhan hingga ratusan ribu hektar, diupayakan bisa menjadi lahan alternatif pertanian untuk padi dan jagung dengan pengelolaan dan perlakuan khusus sehingga bisa dimanfaatkan sebagai lahan yang produktif, dan ini sudah memiliki cerita sukses yang dilakukan di Kalimantan Tengah dan di Kalimantan Timur untuk produk tanaman padi dan jagung.
Dan kedua adalah diversifikasi produk pangan ke komoditas lain yang kontur dan rasanya mirip dengan kebiasaan konsumen di dalam negeri seperti menggunakan produk pertanian tepung sorgum sebagai pengganti tepung gandum. Walau dari aspek teknis, masalah utama pengembangan produk pertanian alternatif untuk kebutuhan pangan adalah nilai keunggulan komparatif dan kompetitif yang relatif rendah.
Oleh karena tantangan yang besar maka perlu ada nya dukungan dari Pemerintah untuk aspek regulasi dan pembiayaan melalui APBN maupun APBD, karena dengan adanya kerja sama yang erat antara pemerintah pusat maupun daerah, akademisi, petani dan pelaku bisnis diharapkan dapat memberikan peningkatan hasil produk pertanian sehingga bisa mencapai kedaulatan pangan nasional dan berefek langsung untuk menyejahterakan masyarakat terutama petani. Peran serta ke empat pihak tersebut dapat sebagai ruang gerak yang saling mempunyai kepentingan yang berbeda tetapi saling mengisi (bersinergi).
Dalam hal ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan penjamin kenyamanan dan keamanan berinvestasi, sebaliknya dari pelaku bisnis akan memberikan lapangan pekerjaan, peningkatan PDRB, pengembangan bisnis sektor terkait, sedang dari akademisi akan menyumbangkan teknologi tepat guna yang inovatif dan kreatif baik kepada Pemerintah maupun ke pelaku bisnis serta ke petani dan yang terutama adalah petani akan menyumbangkan tenaga serta upaya nya dalam mengolah lahan dan menanam produk pertanian yang bermanfaat untuk kebutuhan pokok dan kesejahteraan masyarakat (Supriyanto, 2010).
Oleh karena itu, saya sebagai Ketua Pemuda Tani Indonesia DPC Kutai Kartanegara mendukung sepenuhnya program pemerintah tentang pengembangan kawasan Food Estate di beberapa daerah di Indonesia yang diharapkan dengan adanya bentuk solusi yang komprehensif dan melibatkan semua pihak ini akan mampu memberikan sumbangsih yang nyata, setidaknya untuk dua hal dalam isu terkait kedaulatan pangan, pertama adalah kemandirian pangan karena tidak perlu lagi mengimpor dan membuat Indonesia terbebas dari krisis pangan, dan kedua adalah isu kesejahteraan untuk para petani lokal Indonesia sehingga mampu meningkatkan taraf hidup petani di Indonesia yang masih banyak hidup di dalam garis kemiskinan.
Editor : Redaksi
*Semua Artikel/opini yang diterbitkan gayamnews.com adalah tanggung jawab penulis
Mau berOPINI kirim tulisan gayam friend ke kontak di bawah ini :
Email : gayamnews@gmail.com